Reni Yuli Astutik/ 07110042/ D
2.1 Pengertian Asuransi
Asuransi (Ar:at-ta’min). Transaksi perjanjian antara dua belah pihak ; pihak yang yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak lain berkewajiban memberikan jaminansepenuhnya kepada pembayar iuran. Jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat.
Para ahli fiqih kontemporer, seperti wahbah az-zuhaili (ahli fiqih dan ushul fiqih), mendefinisikan asuransi sesuai dengan pembagiannya. Menurutnya asuransi itu ada dua bentuk yaitu at-ta’min at-ta’awuni(asuransi tolong menolong) dan at-ta’min bi qistsabit(asuransi dalam pembagian tetap). At- ta’min at ta’awuni adalah kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang diantara mendapatkn kemudaratan. Kemudaratan yang menimpa para peserta at-ta’min at-ta’awuni ini dapat berbentuk kecelakaan, kematian, kebakaran, kebanjiran, kecurian, dan bentuk-bentuk kerugian lainnya sesuai dengan kesepakatan bersama. Asuransi seperti ini dapat juga berlaku bagi orang-orang pensiun, tua renta, dan tertimpa sakit. At-ta’min bi qistsabit adalah akat yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi. Lebih lanjut dikatakannya, bentuk asuransi yang berkembang saat ini adalah at-ta’min bi qistsabit. Sifat akad ini mengikat kedua belah pihak.
Menurut Undang-Undang No.2 Tahun 1992 Pasal 1 :
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak Penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.
Pada hakekatnya asuransi adalah suatu perjanjian antara nasabah asuransi (tertanggung) dengan perusahaan asuransi (penanggung) mengenai pengalihan resiko dari nasabah kepada perusahaan asuransi.
Resiko yang dialihkan meliputi: kemungkinan kerugian material yang dapat dinilai dengan uang yang dialami nasabah, sebagai akibat terjadinya suatu peristiwa yang mungkin/belum pasti akan terjadi (Uncertainty of Occurrence & Uncertainty of Loss). Misalnya :
1. Resiko terbakarnya bangunan dan/atau Harta Benda di dalamnya sebagai akibat sambaran petir, kelalaian manusia, arus pendek.
2. Resiko kerusakan mobil karena kecelakaan lalu lintas, kehilangan karena pencurian.
3. Meninggal atau cedera akibat kecelakaan, sakit.
4. Banjir, Angin topan, badai, Gempa bumi, Tsunami
2.2 Asuransi Dalam Hukum Islam
Menurut Mustofa Al-Buga (guru besar fiqih Islam di Universitas Damakus, Suria) terletak dalam tujuan masing-masing. At-ta’min at ta’wuni pada dasarnya tidak mencari keuntungan, tetapi semata-mata untuk kepentingan bersama ketika terjadi kemudaratan atas diri salah seorang anggotanya. Tidak da perbedaaan pendapat diantara para ulama tentang hukum at-ta’min at-ta’awuni, karena dasar dari jenis asuransi ini sejalan dengan prinsip Islam.
Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 2:
Artinya “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
Menurut wahbah Az-Zuhaili, at-ta’min at-ta’awuni boleh dilakukan. Namun, asuransi seperti ini jarang sekali dijumpai dalam kenyataan. Adapun tujuan utama at-ta’min bi qistsabit adalah mendapatkan keuntungan disamping melakukan beberapa jaminan terhadap para pesertanya.
Ulama berbeda pendapat mengenai at-ta’min bi qistsabit perlu diperinci pembagiannya sesuai dengan objek asuransi itu sendiri. Mustofa Al-Buga memperinci bentuk-bentuk asuransi diliat dari objeknya sebagai berikut:
1. Asuransi kerugain.
Asuransi yang akan diterima oleh peserta ketika ia ditimpa kerugian yang disebabkan oleh peristiwa-peristiwa tertentu. Dan bentuk asuransi ini ada 2 yaitu:
a). asuransi kerugian harta yang disebabkan oleh kebakaran, kebanjiran, kecurian, dan sejenisnya.
b). Asuransi yang menjamin kerugian akibat tanggung jawabnya, seperti menabrak orang atau pekerja/pegawainya mendapatkan kecelakaan kerja.
2. Asuransi jiwa .
Dalam asuransi ini, peserta memperoleh sejumlah uang jika mendapat suatu kerugian, baik ia masih hidup maupun wafat. Asuransi jiwa ada 2 bentuk, yaitu:
a). Asuransi yang berkaitan dengan kehidupan peserta, terdiri atas 3 bentuk yaitu:
1) Asuransi kematian, berupa transaksi yang mewajibkan peserta membayarkan sejumlah uang secara periodik kepada perusahaan asuransi dan pihak perusahaan wajib memberikan sejumlah uang ketika peserta wafat. Uang ini dapat diserahkan kepada orang yang ditunjuk peserta atau ahli warisnya
2) Asuransi dalam jangka tertentu, berupa transaksi yang mewajibkan peserta membayarkan sejumlah uang secara periodik kepada perusahaan asuransi dan pihak perusahaan wajib membayar sejumlah uang kepada peserta jika tenggan waktunya telah datang dan peserta masih hidup. Peserta asuransi tidak mendapatkan ganti rugi jika ia meninggal dunia sebelum tenggang waktu datang
3) Asuransi yang sifatnya peserta menerima sejumlah uang dari pihak perusahaan asuransi pada waktu-waktu tertentu. Jika ia masih hidup atau diberikan kepada orang yang ditunjuk peserta atau ahli warisnya jika ia telah meninggal. Dalam asuransi bentuk terakhir ini uang yang dibayarkan peserta secara periodik lebih dari pada kedua bentuk asuransi sebelumnya.
b) Asuransi kecelakaan apabila peserta menderita kelakaan badan atau cacat tubuh.
Berbeda dengan at-ta’min at-ta’awuni, hukum at’min dengan segala bentuknya yang disebutkan di atas masih masih diperselisihkan ulama’. Ulama pertama yang membicarakan masalah asuransi dalam fiqih islam, adalah ibnu baidin (1198 H/ 1784 M-1252 H/ 1836 M), ahli fiqih madhzab* hanafi. Yang dibicarakannnya adalah asuransi keselamatan barang yang diangkut dalam kapal laut. Dalam asuransi ini pemilik barang berkewajiban membayar upah atas kapal yang digunakan untuk mengangkut barang tersebut. Disamping itu, pedagang yang bersangkutan berkewajiban membayarkan sejumlah uang kepada semua pihak perusahaan asuransi sebagai jaminan atas kerusakan yang mungkin terjadi terhadap barang tersebut, seperti kebakaran, tenggelam atau dibajak orang. Apabila hal itu terjadi, maka pihak perusaan akan membayar kerugian yang diderita pedagang itu. Dalm hal ini ibnu abidin berpendapat bahwa tidak halal bagi pedagang mengambil uang ganti rugi atas barang – barangnya yang telah musnah, karena akad seperti itu ‘mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan’. Menurut ketentuan dalam bermuamalah, apabila dari satu pihak mengalami kerugian yang tidak disebabkan kesengajaan atau kelalaian pihak lain yang berakad, mak pihak kedua itu tidak boleh dikenakan tanggung jawab untuk mengganti kerugian, karena transaksi seperti itu mengandung Garar (penipuan) yang dilarang syarak (hukum islam).
2.3 Pandangan ulama dan cendekiawan muslim
Dikalangan ulama’ dan cendekiawan muslim ada empat pendapat tentang hukum asuransi yakni:
a. Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya sekarang ini ; termasuk asuransi jiwa
b. Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya sekarang ini
c. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang semata – mata bersifat komersial
d. Menganggap subhat
Dari pendapat yang pertama didukung antara lain Sayid Sabiq, pengarang fiqus sunnah, Abdullah Al-Qalqili, Mufti Yordania, Muhammad Yusuf al- Qardhawi, pengarang Al- Halal Wal Haram fil Islam, dan muhammad Bakhit al- Muth’I, Mufti Mesir. Alasan – alasan mereka yang mengharamkan asuransi itu antara lain sebagai berikut
a. Asuransi pada hakikatnya sama atau serupa dengan judi
b. Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti
c. Mengandung unsur riba
d. Mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang polis tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan
e. Premi – premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktek riba (kredit berbunga)
f. Asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar menukar mata uang tidak dengan tunai
g. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, yang berarti mendahului takdir tuhan yang maha kuasa.
Pendukung pendapay yang kedua antara lain adalah: Abdul Wahab Khallaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syariah Universita Syria, Muhammmad Yusuf Musa, Guru Besar Hukum Islam pada universitas Cairo Mesir, dan Abdurrahman Isa, pengarang Al-Muamalat al-Haditsah wa Ahkmuha. Alasan mereka yang membolehkan asuransi termasuk asuransi jiwa antara lain sebagai berikut:
a. Tidak ada nash al- qur’an dan hadist yang melarang asuransi
b. Ada kesepakatan atau kerelaan dari kedua belah pihak
c. Mengandung kepentingan umum, sebab premi – premi yang terkumpul bisa diinvestasikan untuk proyek – proyek yang produktif dan untuk pembangunan
d. Asuransi termasuk akad mudharrabah, artinya akad kerjasama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing
e. Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’awuniyah)
f. Diqiyaskan (analogi) dengan sistem pensiun, seperti TASPEN.
Pendukung pendapat ketiga antara lain yaitu: Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir. Alasan mereka membolehkan asuransi yang bersifat sosial pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat kedua; sedangkan alasan yang mengharamkan asuransi yang bersifat komersial pada garis besarnya sama dengan alasan pendapta pertama.
Adapun alasan mereka yang menganggap asuransi shubhat, karena tidak ada dalil – dalil syar’I yang secara jelas mengharamkan ataupun menghalalkan asuransi. Dan apabila hukum asuransi dikategorikan syubhat, maka kobskuensinya adalah kita tuntut bersikap hati-hati menghadapi asuransi dan kita baru diperbolehkan mengambil asuransi, apabila kita dalam keadaan darurat atau kebutuhan.
2.4 Jaminan keamanan dalam perspektif al-qur’an dan sunnnah
Konsep dasar asuransi adlah untuk memberikan ketenangan pada seseorang dari bahaya yang mungkin terjadi dan menyebabkan kerugian materiil maupun immateriil. Dengan kata lain, asuransi bertujuan untuk meminimalisir ketakutan dan kemungkinan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan dan dapat membawa dampak yang tidak disukai. Target asuransi dengan demikian adalah menghilangkan dan meminimalisir ketakutan dan kekhawatiran. Hal ini menurut syara’ sah – sah saja, atau diterima.
Dari sisi lain, seorang mukmin dituntut untuk selalu takut kepada Allah SWT. Dan sudah menjadi tabiatnya pula untuk takut kepada siksa, baik didunia maupun akhirat. Juga khawatir akan kekurangan harta dan buah – buahan, serta takut dari kezhaliman. Fakta ini didasarkan pada firman alllah di dalm alqur.an:
Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah – buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang – orang yang sabar. (al-baqarah: 155)
Dari urain diatas tampak jelas bahwa jiwa manusia memang selalu diliputi beragam ketakutan dan kekhawatiran, dan karenanya ia membutuhkan solusi untuk meringankan atau bahkan menghilangkan perasaan tersebut. Dalam hal ini, islam telah meletakkan sebuah pendekatan untuk mencapai tujuan tersebut yang diaktualisasikan dalam bentuk ketakwaan kepada allah SWT, penerapan sistem zakat mal (zakat kekayaan), sistem solidaritas sosial,dan perilaku yang baik dan terpuji sekaligus dorongan untuk menabung demi kemaslahatan generasi mendatang, juga gotong royong, saling membantu, solider, dan menjalin persaudaraan diantara kaum muslimin sebagai saudara seiman. AllahSWT berfirman:
Dan tolong – menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. Al-Maidah: 2).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar